Jumlah cadangan energi fosil yang kian menyusut, memaksa manusia terus-terusan mencari kemungkinan energi lain. Beberapa pasokan energi alternatif kemudian ditemukan dan coba dikembangkan. Nama-nama seperti biodiesel, biofuel, biogaz, sepertinya kini tak asing ditelinga. Namun bagaimana dengan Coal Bed Methane (CBM) atau gas metana batubara, yang disinyalir menjadi satu alternatif lain untuk pasokan energi pengganti Gas Alam Cair (LNG).
CBM dalam dunia pertambangan didefinisikan sebagai gas metana yang terbentuk dari aktivitas mikrobial (biogenic) atau panas (thermogenic) selama terjadinya proses pembentukan batubara. Biasanya gas ini ditemukan terperangkap di dalam lapisan batu bara. Kumpulan gas yang terperangkap ini akan sangat berbahaya dalam proses penambangan, karena dapat menimbulkan terjadinya ledakan dan kebakaran pada tambang. Oleh karena itu adanya perkembangan teknologi untuk mengeksploitasi CBM sebagai sumber energi amat dihargai. Karena selain mengurangi resiko penambangan batubara, juga dapat digunakan sebagai salah satu sumber energi baru. Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai CBM telah dimulai sejak tujuh tahun silam. Dalam penelitian tersebut kemudian dihasilkan penemuan potensi CBM di 11 titik cekungan di pulau Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Diantaranya berada di daerah Sumatera Tengah, Ombilin, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jatibarang, Tarakan Utara, Berau, Kutai, Barito, Pasir dan Asam-asam serta Sulawesi Tenggara. Dari kesebelas titik pemasok potensial CBM tersebut, ditemukan sejumlah 453 TCF (Trilion Cubic Feet - Triliun Kaki Kubik). Hal ini menurut Purnomo Yusgiantoro, selaku Menteri Pertambangan dan Energi merupakan hal yang menggembirakan. Mengingat cadangan gas konvensional yang kita miliki sampai saat ini hanya sekitar 195 TCF saja. Hingga sejauh ini belum dapat ditentukan, berapa kisaran biaya produksi CBM. Namun seperti diketahui pada awal operasi produksi, CBM memang akan membutuhkan biaya yang relatif besar. Hal ini dikarenakan karakteristik depositnya berbeda dengan deposit gas alam konvensional. Tapi umumnya puncak produksi CBM baru bisa dicapai setelah masa operasional dalam kurun waktu lima hingga tahun, sedangkan gas alam dari tambang konvensional puncak produksi bisa dicapai pada tahun pertama. Pada tahap operasional selanjutnya diperkirakan, biaya produksi CBM lebih murah US $ 0,03 per juta kaki kubik dibanding biaya produksi gas alam. Disamping masalah teknis produksi, serta investasi penambangan CBM di Indonesia. Sekarang ini penambangan CBM masih terganjal kendala mengenai pengaturan kontrak cakupan wilayah eksplorasi. Ini dimaksudkan agar kawasan operasi tidak tumpang tindih dan saling merugikan dengan penambangan batubara. Namun sejauh ini para ahli Badan Litbang Energi dan Sumber Daya Mineral, BP Migas, dan Lemigas sama-sama berpendapat optimis, bahwa penambangan CBM bisa menjadi sumber energi alternatif yang cukup signifikan di masa mendatang. Bahkan diproyeksikan untuk masa 20-30 tahun yang akan datang, mengingat semakin langkanya penemuan baru penambangan BBM. Hingga baru-baru ini, sebagai bagian dari upaya pengeksplorasian CBM di Indonesia, sedang dilakukan pengeboran satu sumur di Sumatera Selatan, yang berada di sekitar Prabumulih. Yang kemudian oleh Kepala Litbang Departemen Energi, Wimpy S. Tjetjep memperlihatkan potensi yang lebih baik dari pada lapangan penghasil gas serupa milik Rusia. Ditargetkan dalam tahun ini juga akan kembali dilakukan pengeboran dua sumur serupa. Sebab untuk mengetahui adanya kepastian cadangan CBM, perlu dilakukan pengeboran di lima sumur yang lain. Sayangnya hingga sekarang, proses penelitian terhadap nilai potensial gas ini masih terhalang masalah pendanaan, yang tampaknya akan coba ditutupi melalui cara pencarian investor yang berminat.
0 comments:
Posting Komentar